Aula Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) Gedung B dipenuhi para dosen yang sangat antusias untuk mengikuti lokakarya dengan tema “Humaniora Digital dan Warisan Budaya” pada Jumat (26/1/2024). FIB UB mengundang Dr. Miguel Escobar Varela, seorang peneliti dan dosen humaniora digital di National University of Singapore, untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya yang luar biasa, khususnya dalam penelitian dan pengajaran humaniora digital.
Acara yang dimulai pukul 13.00 waktu setempat ini dibuka dengan sambutan dari Fatimah S.Pd, M.Appl.Ling., PLH Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UB. Ia menyambut hangat kehadiran semua peserta dengan mengucapkan rasa syukur dan banyak terima kasih atas kesempatan belajar dari Dr. Varela. Fatimah menggarisbawahi pentingnya pengembangan humaniora digital sebagai fokus utama FIB UB. Upaya FIB UB untuk mengintegrasikan ilmu humaniora digital dan kecerdasan buatan ke dalam kurikulum pun disampaikan dengan harapan Dr. Varela dapat memberikan saran dan masukan untuk implementasi rencana tersebut.
“Sejak tahun lalu, FIB UB memang telah bergerak untuk mengarahkan digital humanities sebagai center of excellence. Terutama saat ini, semua program studi di FIB UB sedang melakukan pengembangan kurikulum. Kami juga menginginkan digital humanities dan artificial intelligence untuk masuk ke dalam kurikulum. Nanti kami juga akan membutuhkan saran dari Dr. Varela yang memiliki pengalaman praktis yang luar biasa di bidang itu. Kami perlu mengetahui bagaimana langkah-langkah mengembangkan kurikulum di digital humanities ini,” ungkap Fatimah.
Sambutan dari Wakil Dekan Bidang Akademik dilanjutkan dengan pemberian cinderamata sebagai tanda penghargaan dari FIB UB kepada Dr. Varela. Tanda penghargaan berupa plakat diserahkan oleh Nanang Endrayanto S.S, M.Sc., Wakil Dekan Bidang Umum, Keuangan, dan Sumber Daya, serta Yusri Fajar S.S, M.A, dosen Program Studi (PS) Sastra Inggris FIB UB.
Tak lama setelahnya, Scarletina Vidyayani Eka S.S, M.Hum., dosen PS Sastra Inggris sekaligus moderator, membuka acara utama dengan menyapa Dr. Varela dan para peserta yang hadir. Sesi lokakarya pun dimulai dengan pembacaan biodata singkat Dr. Varela.
Dr. Varela membuka presentasinya dengan menjelaskan bahwa konsep humaniora digital dapat diinterpretasikan dalam berbagai macam cara oleh para peneliti, namun yang terpenting adalah memahami konteksnya. Dalam penggunaan data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kompleks seputar budaya, ia memberikan contoh proyek yang dilakukan oleh timnya. Dengan menggunakan teknik visualisasi data seperti “hotspots map,” mereka dapat memperoleh wawasan yang mendalam tentang seberapa umumnya pertunjukan wayang dalam kurun waktu tertentu.
“Beberapa tahun lalu, kami ada proyek. Kami ambil semua sebutan tentang pertunjukan wayang di semua tempat dari sosial media, dari Facebook, Twitter, dan dari website yang lain. Kami bisa melihat berapa banyak pertunjukan wayang per tahun. Ada sekitar 5.000 pertunjukan wayang per tahun. Di Kabupaten Malang sendiri ada beberapa pertunjukan, tetapi lebih banyak di daerah lain. Di bulan Mei-Juni, tidak terlalu banyak pertunjukan. Kalian bisa menebak alasannya? Betul, karena bulan puasa. Nanti, di bulan Agustus, ada banyak lagi pertunjukan. Mengapa? Ya, karena bertepatan tujuh-belas-an,” ucap Dr. Varela.
Selain itu, Dr. Varela juga membahas tentang potensi penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam analisis budaya, seperti menganotasi gambar-gambar wayang untuk mengembangkan detektor karakter wayang. Dia juga menyebutkan beberapa proyeknya yang menghadirkan informasi tentang wayang secara interaktif dengan video dan data, yang diharapkan dapat menarik minat mahasiswa dan masyarakat umum terhadap warisan budaya. Salah satunya adalah Interactive Wayang Screen yang telah dipamerkan di Tembi Gallery, Yogyakarta. Pengunjung dapat mengontrol video pertunjukan wayang di layar dengan mempraktekkan gerakan dalang menggunakan peralatan yang telah dipasangi sensor gerakan.
Tidak luput, pengalaman pengajarannya di National University of Singapore (NUS) dan bagaimana model pengajaran yang telah diterapkan di sana dapat diadaptasi ke konteks lokal pun turut dibagikan. Pengalaman belajar di NUS menekankan pentingnya proyek-proyek pengalaman dampak (Impact Experience Projects), yang serupa dengan program MBKM di Indonesia. Melalui proyek ini, mahasiswa berkolaborasi dengan organisasi masyarakat atau lembaga di Asia Tenggara untuk menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh di kelas ke dalam situasi dunia nyata. Pada tahun sebelumnya, mereka telah menjalin kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), dan sekarang mereka sedang merencanakan kerja sama yang lebih terperinci dengan UB.
Setelah sesi presentasi berakhir, para dosen begitu antusias untuk mengajukan pertanyaan, Salah satu yang paling menarik datang dari dosen PS Antropologi, Irsyad Matias S.S, M.A..
“Dahulu, Geographic Information System (GIS) sulit untuk diakses karena ArcView sangat mahal, membutuhkan lisensi. Tetapi sekarang sudah banyak (software) yang gratis sehingga saya kira tools tidak menjadi masalah. Ketika saya belajar antropologi, saya hanya berkutat dengan antropologi. Padahal untuk integrase humaniora digital tentunya memerlukan kolaborasi. Pertanyaan saya, bagaimana langkah untuk mengawali kolaborasi antardisiplin ilmu baik secara tools maupun keilmuan?” tanyanya.
Dr. Varela menjelaskan bahwa salah satu cara tercepat untuk keluar dari keterbatasan tersebut adalah dengan menghadiri konferensi antardisiplin ilmu. Ia menyebutkan contoh pertemuannya dengan Dr. Pohjonen dari Finlandia yang juga merupakan pembicara kuliah tamu di FIB UB, dalam konferensi humaniora digital di Denmark.
“Ada beberapa akademisi yang sering ngobrol dengan orang lain, yang semuanya datang dari latar belakang yang sama. Cara tercepat untuk keluar dari situasi itu adalah dengan datang ke konferensi antardisiplin ilmu,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mengusulkan untuk membuat seminar interdisipliner sendiri di kampus sebagai langkah awal untuk membangun kolaborasi. Menurutnya, yang paling penting dalam membangun kolaborasi adalah melalui pertemuan tatap muka.
“Bagi saya, yang terpenting bukan birokrasi, tapi sering ngopi. Jadi kita bisa berdialog dengan santai dengan orang dari berbagai latar belakang,” tegasnya. [acl/dts/Humas FIB/aaz]