Diskusi Rutin Dwi Mingguan: Alih Wahana Sastra

Program Studi (Prodi) Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) mengadakan Diskusi Rutin Dwi Mingguan secara daring melalaui Zoom bersama Yusri Fajar, M.A selaku narasumber. Kegiatan ini dilakukan pada Selasa (28/7/2020) jam 13.00-15.00 WIB, dihadiri oleh dosen-dosen dan juga mahasiswa Prodi Sastra Inggris FIB UB.

Kegiatan ini mendiskusikan akan Alih Wahana Sastra ke Media Audio Visual (Film dan Lagu). Contoh dari alih wahana sastra adalah mengubah film ke dalam novel atau sebaliknya, mengubah puisi menjadi lagu, dan sebagainya.

Pertama dibahas adalah alih wahana sastra yang masif yaitu sekitar 85% film arus utamanya merupakan adaptasi dari karya sastra, terutama novel dan naskah drama (Welsh, 2007). Film-film yang diadaptasi dari novel akan lebih menarik masyarakat untuk menonton film tersebut. Pembuat film juga bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan, contohnya saja novel Siti Nurbaya. Novel tersebut dijadikan film dan banyak sekali orang yang penasaran ingin menonton bagaimana adegannya.

Perjalanan alih wahana sastra di Indonesia diawali pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada saat itu yang dialihwahanakan adalah “Eulis Atjih” (1927), “Nyai Dasima” (1929), “Siti Noerbaya” (1941), dan sebagainya. Lalu pada saat Pasca Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru) ada “Bawang Merah dan Bawang Putih” (1953), “Lupus” (1987), dan masih banyak lagi. Pada saat Pasca Reformasi-Mutakhir, yang dialih wahanakan adalah lagu-lagu adaptasi dari penyair Indonesia, Siniar (podcast) sandiwara sastra (cerpen dan novel) tahun 2020 (Kemendikbud).

Aturan dalam alih wahana sastra ke film antara lain (1) tidak berhutang pada teks aslinya, (2) bagian yang bagus harus dipertahankan, yang tidak bagus harus disingkirkan, dan (3) mengikuti gaya bercerita dalam film (Krevolin, 2003: 10-20).

Keuntungan membuat alih wahana sastra adalah karya sastra yang diadaptasi akan semakin dikenal luas, sastrawan mendapat imbal balik, serta terciptanya “versi” lain dari karya sastra yang diadaptasi. Kerugian yang didapat aura karya sastra menjadi terdegradasi, sastrawan dan publik bisa kecewa kalau hasil adaptasi tidak merepresentasikan nilai-nilai yang diperjuangkan dalam karya sastra.

Adaptasi karya sastra ke dalam lagu, contohnya Kerabat SWARA mengalihwahanakan puisi-puisi Tengsoe Tjahjono yang bertema protes politik ke dalam lagu-lagu dalam album yang bertajuk “Sengaja Lupa”. Salah satu puisi yang ada di album ini adalah “Risiko Suara” yang ditulis oleh Tengsoe pada tahun 1998: “Berkata benar itu ibadah karena lidah punya Tuhan tetapi di negeri ini kebenaran adalah terali besi”. Tengsoe Tjahjono dan juga Kerabat SWARA telah membangun relasi sosial dalam komunitas sastra di Malang sejak tahun 2010.
(FIB)

(POSTED ON JULY 30, 2020)